Minggu, 04 Juli 2010

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ERIKSON

Senin, 21 April 2008
Perkembangan Psikososial Erikson
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ERIKSON

By Ns. Andi yudianto

Menurut Erik Erikson (1963) perkembangan psikososial terbagi menjadi beberapa tahap. Masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen, yaitu komponen yang baik (yang diharapkan) dan yang tidak baik (yang tidak diharapkan). Perkembangan pada fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya.
Adapun tahap-tahap perkembangan psikososial anak adalah sebagai berikut:
1. Percaya Vs Tidak percaya ( 0-1 tahun )
Komponen awal yang sangat penting untuk berkembang adalah rasa percaya. Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi lahir dan kontakl dengnan dunia luar maka ia mutlak terganting dengan orang lain. Rasa aman dan rasa percaya pada lingkungan merupakan kebutuhan. Alat yang digunakan bayi untuk berhubungan dengan dunia luar adalah mulut dan panca indera, sedangkan perantara yang tepat antara bayi dengan lingkungan dalah ibu. Hubungan ibu dan anak yang harmonis yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial, merupakan pengalaman dasar rasa percaya bagi anak. Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan lingkungan maka dapat timbul berbagai masalah. Rasa tidak percaya ini timbul bila pengalaman untukmeningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara adekwat, yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik., psikologis dan sosial yang kurang misalnya: anak tidak mendapat minuman atau air susu yang edukat ketika ia lapar, tidak mendapat respon ketika ia menggigit dot botol dan sebagainya.
2. Otonomi Vs Rasa Malu dan Ragu ( 1-3 tahun )
Pada masa ini alat gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya terhadap ibu dan lingkungan. Perkembangan Otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol tubuhnya, dirinya dan lingkungannya. Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai dengan kemauannya misalnya: kepuasan untuk berjalan atau memanjat. Selain itu anak menggunakan kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa Otonomi diri ini perku dikembangkan karena penting untik terbentuknya rasa percaya diri dan harga diri di kemudian hari. Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri.
Peran lingkungan pada usia ini adalah memberikan support dan memberi keyakinan yang jelas. Perasaan negatif yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang di pilihnya serta kurangnya support dari orangtua dan lingkungannya, misalnya orangtua terlalu mengontrol anak.
3. Inisiatif Vs Rasa Bersalah ( 3-6 tahun )
Pada tahap ini anak belajar mengendalikan diri dan memanipulasi lingkungan. Rasa inisiatif mulai menguasai anak. Anak mulai menuntut untuk melakukan tugas tertentu. Anak mulai diikut sertakan sebagai individu misalnya turut serta merapihkan tempat tidur atau membantu orangtua di dapur. Anak mulai memperluas ruang lingkup pergaulannya misalnya menjadi aktif diluar rumah, kemampuan berbahasa semakin meningkat. Hubungan dengan teman sebaya dan saudara sekandung untuk menang sendiri.
Peran ayah sudah mulai berjalan pada fase ini dan hubungan segitiga antara Ayah-Ibu-Anak sangat penting untuk membina kemantapan idantitas diri. Orangtua dapat melatih anak untuk menguntegrasikan peran-peran sosial dan tanggungjawab sosial. Pada tahap ini kadang-kadang anak tidak dapat mencapai tujuannya atau kegiatannya karena keterbatasannya, tetapi bila tuntutan lingkungan misalnya dari orangtua atau orang lain terlalu tinggi atau berlebihan maka dapat mengakibatkan anak merasa aktifitasnya atau imajinasinya buruk, akhirnya timbul rasa kecewa dan rasa bersalah.
4. Industri Vs Inferioritas ( 6-12 tahun )
Pada tahap ini anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang akhirnya dan dapat menghasilkan sesuatu. Anak siap untuk meninggalkan rumah atau orangtua dalam waktu terbatas yaitu untuk sekolah. Melalui proses pendidikan ini anak belajar untuk bersaing (sifat kompetetif), juga sifat kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan-peraturan yang berlaku.
Kunci proses sosialisasi pada tahap ini adalah guru dan teman sebaya. Dalam hal ini peranan guru sangat sentral. Identifikasi bukan terjadi pada orangtua atau pada orang lain, misalnya sangat menyukai gurunya dan patuh sekali pada gurunya dibandingkan pada orangtuanya. Apabila anak tidak dapat memenuhi keinginan sesuai standart dan terlalu banyak yang diharapkan dari mereka maka dapat timbul masalah atau gangguan.
5. Identitas Vs Difusi Peran ( 12-18 tahun )
Pada tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa. sehingga nampak adanya kontradiksi bahwa dilain pihak ia dianggap dewasa tetapi disisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan, Peran orangtua sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun. Sedangkan peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Teman sebaya di pandang sebagai teman senasib, patner dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis.


Teori Freud. Psikoanalisis hampir diidentikan dengan sosok seorang Freud. Sigmund Freud (1856-1939) lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg Moravia yang pada masa itu merupakan provinsi di bagian utara Kekaisaran Autro Hongaria dan sekarang adalah wilayah Republik Ceska.

Pandangan pandangan freud terus berkembang selama kariernya yang panjang. Hasil kolektif tulisan tulisan yang luas merupakan sebuah sistem rinci tentang perkembangan kepribadian. Freud mengemukakan tiga struktur spesifik kepribadian yaitu Id, Ego dan Superego. Ketiga struktur tersebut diyakininya terbentuk secara mendasar pada usia tujuh tahun.

Struktur ini dapat ditampilkan secara diagramatik dalam kaitannya dengan aksesibilitas bagi kesadaran atau jangkauan kesadaran individu. Id merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional. Id merupakan sebuah keinginan yang dituntun oleh prinsip kenikmatan dan berusaha untuk memuaskan kebutuhan ini.

Ego merupakan sebuah pengatur agar id dapat dipuaskan atau disalurkan dalam lingkungan sosial. Sistem kerjanya

pada lingkungan adalah menilai realita untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Sedangkan Superego sendiri adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan nilai baik-buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan Ego yaitu Id.

Kesadaran dan Ketidaksadaran

Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya.

Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan.

Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.






Kecamasan

Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Menurut Freud kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral.

(1) Kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata.

(2) Kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan

(3) Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.

Mekanisme Pertahan Ego

Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah:

a. represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran,
b. memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik,
c. pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran,
d. proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar,
e. penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”,
f. rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur,
g. sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi,
h. regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami,
i. introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain,
j. konpensasi,
k. ritual dan penghapusan.

Tahap Perkembangan Kepribadian

Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap. Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun, meliputi beberapa tahap yaitu tahap oral, tahap anal, tahap phalik, tahap laten, dan tahap genital.

Daftar Pustaka

Brennan, James F. 2006. Sejarah dan Sistem Psikologi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Sarlito W. Sarwono. 2002. Berkenalan dengan ALiran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta : PT Bulan Bintang
tahap tahap perkembangan moral menurut kohlberg

Tahap tahap perkembangan moral terdiri dari 3 tingkat, yang masing masing tingkat terdapat 2 tahap, yaitu :

1. Tingkat pra konvensional ( moralitas pra konvensional )
tahap 1 : orientasi pada kepatuhan dan hukuman -> anak melakukan sesuatu agar memperoleh hadiah dan tidak mendapatkan hukuman
tahap 2 : relativistik hedonism -> anak tidak lagi secara mutlak tergantung aturan yang ada. Mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relative dan lebih berorientasi pada prinsip kesenangan. enurut mussen,dkk. Orientasi moral anak masih bersifat individualistis, egosentris dan konkrit
2. Tingkat konvensional ( moralitas konvensional ) : tingkat konvensional berfokus pada kebutuhan sosial ( konformitas )
tahap 3 : Orientasi mengenai anak yang baik -> anak memperlihatkan perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain
tahap 4 : mempertahankan norma norma sosial dan otoritas -> menyadari kewajiban untuk melaksankan norma norma yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma, artinya untuk dapat hidup secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan yang lebih disepakati bersama dan melaksanakannya.
3. tingkat post konvensional ( moralitas post konvensional ) : individu mendasarkan penilaian moral pad aprinsip yang benar secara intern
Tahap 5 : Orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan sosialnya -> Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara individu dengan dengan linkungan sosialnya, artinya bila seseorang melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan tuntutan norma sosial, maka ia berharap akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat.
tahap 6 : Prinsip universal -> pada tahap ini ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat subjektif. Artinya dalam hubungan antara seseorang dengan masyarakat ada unsur unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu bbaik atau tidak baik moral atau tidak. Disini dibuthkan unsur etik / norma etik yang sifatnya universal sebgai sumber untuk menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas


Pada tahun 1960-1970 Kohlberg mulai melakukan pematangan atas paradigm baru didunia psikologi yang dia cetuskan berdasarkan hasil penelitian empirisnya bernama teori kognitif-developmental-nya. Teori kognitif-developmental menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakili seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yairu prinsip kesejahteraan manusia dan prinsip keadilan. (Tahap-tahap Perkembangan Moral, Lawrence Kohlberg:1995). Menurut Kohlberg bahwasanya prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.

Adapun buah pemikiran Lawrence Kohlberg mengenai 3 tingkat dan 6 tahap perkembangan moral manusia, menurut Prof. Dr. K. Bertens dalam bukunya “Etika”, yang kemudian menjadi sebuah teori moral yang mempengaruhi dunia psikologi dan filsafat moral atau etika, yakni:

1. Tingkat Pra-konvensional
a. Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan,
Pada tahap ini anak dalam hal melakukan suatu tindakan akan memiliki orientasi atas hukuman yang merupakan konsekuensi atas tindakan itu, serta kepatuhan dari seseorang dalam hal ini orang yang dituakan atau kepatuhan terhadap hukum.

b. Tahap orientasi relativis-instrumental.
Pada tahap anak tetap menilai sesuatu berdasarkan kemanfaatan, kesenangan, atau sesuatu yang buruk menjadi keburukan, namun disini si anak sudah mampu belajar memperhatikan harapan dan kepentingan orang lain.


2. Tingkat Konvensial
c. Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk menjadi “anak manis”.
Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses perkembangan kearas sosialitas dan moralitas kelompok. Kesadaran dan kepedulian atas kelompok akrab, serta tercipta sebuah penilaian akan dirinya dihadapan komunitas/kelompok.

d. Tahap orientasi hukum dan ketertiban.
Pada kondisi ini dimana seseorang sudah mulai beranjak pada orientasi hukum legal/peraturan yang berfungsi untuk menciptakan kondisi yang tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas.

3. Tingkat Pasca-konvensional
e. Orientasi kontrak-sosial legalistik
Tahap ini merupakan suatu kondisi dimana penekanan terhadap hak dan kewajiban cukup ditekankan,sehingga proses demokratisasi terjadi.Pada tahap ini juga muncul sebuah sikap cinta tanah air dan pemerintahan yang berdaulat.

f. Orientasi prinsip etika universal.
Pada situasi ini dimana orang dalam melakukan tindakan mencoba untuk sesuai dengan nurani serta prinsip-prinsip moral universal. Adapaun syarat atas prinsip moral universal menurut Kohlberg, yakni: komprehensif, universal, dan konsisten (tidak ada kontradiksi dalam penerapannya). Sedangkan prinsip universal itu ialah keadilan, prinsip perlakuan timbal balik (reciprositas), kesamaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. (Tahap-tahap Perkembangan Moral, Lawrence Kohlberg:1995).

Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter khusus, diantaranya:
• Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut ke tahap kedua.
• Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas tahap dimana ia berada.
• Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara berfikir satu tahap diatas tahapnya sendiri.(K.Bertens;2005).

Kohlberg menekankan pada pendidikan moral yang menggunakan sistem ‘kurikulum tersamar’, dimana dia menekankan bahwa pengajar atau guru dalam hal ini mampu mewujudkan suatu kondisi pribadi yang mencerminkan moral terhadap peserta didik. Dalam proses penelitiaannya Kohlberg, dkk mengambil sample anak-anak dan remaja. Sebagai sebuah realita, dimana fase tersebut merupakan fase yang tepat dalam mengambil sebuah kesimpulan guna menemukan teori moral yang mendekati teori moral yang ideal.

Kohlberg mengantisipasi atas nuansa relativitas moral yang pada saat ini didominasi oleh kaum Durkheimian, dan para psikologi yang beraliran relativisme ekstrem. Makanya, dalam kondisi ini dia lebih mengambil jalan tengah. Masih menurutnya, bahwa dalam proses perkembangan moral disini, dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan keluarga sebagai sebuah faktor dominan dalam membentuk moralitas si anak. Maka, pendidikan umum moralitas yang ditekankan Kohlberg sangat diutamakan.

Referensi:

* Prof.Dr.K.Bertens.”Etika”. 2005.Gramedia;Jakarta
* Drs.John de Santo. “Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Lawrence Kohlberg”. 1995. Kanisius; Yogyakarta
* Prof.Dr.Franz Magnis-Suseno. “20 Tokoh Etika Abad ke-20”. 2004. Kanisius; Yogyakarta







sSISTEM PERLINDUNGAN ANAK
DPR Minta UU Nomor 23/2002 Direvisi

Jumat, 29 Januari 2010
JAKARTA (Suara Karya): Komisi VIII DPR-RI mendesak Pemerintah untuk menciptakan sistem dan mengalokasikan anggaran yang memadai, sehingga pelayanan dan perlindungan anak-anak di Indonesia dapat dilakukan secara optimal.

Di samping belum terciptanya sistem perlindungan anak, koordinasi antar departemen, masyarakat swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga donor internasional yang peduli terhadap permasalahan anak harus ditingkatkan lagi.

Hal itu sangat penting agar penanganan anak jalanan, anak telantar, anak korban kekerasan, anak korban penculikan, anak korban perdagangan orang, dan anak berhadapan dengan hukum memperoleh pelayanan dan perlindungan seperti yang diamanatkan dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan konvensi internasional yang sudah dirativikasi.

"Komisi VIII mendesak pemerintah untuk menciptakan sistem perlindungan anak agar di masa mendatang, kasus-kasus tentang anak dapat diminimalisasi. Kita sangat prihatin, dari tahun ke tahun berbagai kasus tentang anak terus meningkat. Kalau tidak ada tindakan cepat dan fokus dari pemerintah, Indonesia terancam lost generation (kehilangan generasi," ujar Ketua Komisi VIII DPR, Abdul Kadir Karding usai rapat dengar pendapat (RDP) dengan instansi terkait penanganan perlindungan anak, Kamis (28/1).

Pihak pemerintah yang hadir dalam RDP, Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Dirjen Yanrehsos), Makmur Sunusi, Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat (Dirjen Binkesmas) Departemen Kesehatan, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Soepeno, Bareskrim Mabes Polri, dan Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Terkait sistem perlindungan anak itu, Abdul Kadir Karding mengusulkan pemerintah untuk mengajukan revisi UU No. 23 tahun 2002.

Sementara itu, Dirjen Yanrehsos, Makmur Sunusi mengatakan, hingga 2009 jumlah anak telantar dan rawan telantar mencapai lebih kurang 17 juta anak, meliputi anak penyandang cacat, anak korban kekerasan/penculikan, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum dan lain-lain. "Depsos memiliki dua program ikon yakni program keluarga harapan (PKH) dan program kesejahteraan sosial anak (PKSA). Program ini diharapkan mengurangi permasalahan anak, dan mereka harus mendapat perlindungan dari orangtua dan keluarganya . Yang utama adalah akses pelayanan kebutuhan dasar anak," katanya.

Selama ini anggaran yang dialokasikan untuk pelayanan dan perlindungan dari APBN, LSM dan donatur dari luar negeri hanya mampu menjangkau 4 persen dari populasi anak bermasalah di Indonesia. (Yon Parjiyono)













Oleh

AHMAD SOFIAN, SH, MA

Abstraksi

Indonesia masih memiliki kompleksitas persoalan anak yang hingga saat ini belum terselesaikan secara menyeluruh dan komprehensif. Kita bisa melihatnya betapa banyaknya anak-anak yang mengalami gizi buruk, anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS, anak-anak cacat, anak-anak yang harus bekerja siang dan malam, anak-anak yang menjadi prostitusi dan objek pornographi, anak-anak yang hidup dalam penjara-penjara yang kumuh, kotor dan berdesak-desakan, dan sejumlah masalah anak lainnya yang dengan sangat mudah kita bisa jumpai.

Karena itu, harus ada komitmen yang sungguh-sungguh untuk mereduksi persoalan anak tersebut, komitmen saja belum cukup tetapi juga dibarengi dengan implementasi dari komitment. Karena itu beberapa rekomendasi penting untuk dipertimbangkan dalam upaya memberikan perlindungan anak yang menyeluruh di Indonesia termasuk membangun sistem dan mekanisme perlindungan anak yang harus bekerja secara rapi dan transparan di masyarakat yang didukung dengan sistem kesejahteraan sosial dan kesehatan dan penegakan hukum.

Di samping itu perlu, juga memprioritaskan beberapa agenda khusus terhadap anak-anak yang berada dalam situasi sulit seperti anak-anak yang mengalami eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual, anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan anak-anak yang masih mengalami diskriminasi hukum dan sosial, serta meratifikasi dua optional protocol Konvensi Hak Anak.

Pandahuluan

Saat ini jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit berdasarkan data dari Kementerian Sosial RI adalah sebanyak 17,7 Juta (Kompas, 23 Februari 2010). Anak-anak yang berada di dalam situasi sulit ini meliputi juga anak-anak yang telantar, anak-anak yang dieksploitasi dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak cacat, anak-anak yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan, anak-anak yang berada di dalam panti asuhan dan juga anak-anak yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini kemampuan negara untuk mengatasinya hanya 4% setahun atau lebih kurang 708.000 anak, ini artinya negara baru mampu menyelesaikan masalah anak anak yang berada dalam situasi sulit ini selama 25 tahun atau seperampat abad ke depan.

Jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini belum termasuk anak-anak yang suku terasing, anak-anak yang menderita HIV/AIDS, anak-anak yang terdiskriminasi karena berbagai alasan seperti suku, agama dan ras. Karena itu upaya dan langkah masih sangat panjang untuk bisa mengatasi masalah anak ini.

Upaya yang Sudah Dilakukan

Sejumlah masalah anak yang disebutkan di atas tentunya bukan tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah Indonesia. Banyak hal yang sudah dilakukan baik itu kebijakan, upaya konkrit yang sudah di implementasikan, berbagai regulasi dan legislasi, perencanaan dan penganggaran serta pembentukan kelembagaan yang bisa mengatasi masalah anak secara lebih sistematis.

Pemerintah Indonesia sejak tahun 1990 telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres 36/1990. Ratifikasi ini merupakan tonggak awal dari perlindungan anak di Indonesia. Selanjutnya pasca diratifikasinya Konvensi ini, disusunlah berbagai upaya untuk memetakan berbagai persoalan anak baik dilakukan oleh Pemerintah sendiri maupun bekerjasama dengan berbagai lembaga PBB yang memiliki mandat untuk melaksanakan perlindungan anak.

Selanjutnya tahun 1997 Indonesia telah memiliki undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berkonflik dengan hukum, Undang-Undang No. 3/1997 memberikan perhatian dan spesikasi khusus bagi anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana, undang-undang ini juga memberikan kekhususan baik dalam penyidikan, penahanan, penuntutan, peradilan hingga penempatan di lembaga pemasyarakatan anak.

Sebagai puncak dari upaya legislasi adalah lahirnya Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia. Selanjutnya nomenklatur perlindungan anak dimasukkan dalam APBN sehingga memberikan jaminan bagi upaya perlindungan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia.

Selanjutnya, undang-undang ini memberikan mandat untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak (KPAI). KPAI sebagai insitusi independent diberikan mandat untuk melakukan pengawasan pelaksanaan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi negara, melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak yang dilakukan negara, KPAI juga bisa memberikan saran dan masukkan serta pertimbangan secara langsung kepada Presiden tentang berbagai upaya perlindungan anak. Kehadiran lembaga ini sebenarnya sangat strategis karena bisa mempercepat upaya upaya perlindungan anak yang menyeluruh dan kompleks.

Puncaknya adalah pada Kebinet Indonesia bersatu jilid kedua , Presiden memberikan perhatian secara khusus pada masalah anak dengan merubah nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Dengan demikian, masalah anak secara khusus dimasukkan dalam satu kementerian bersama dengan pemberdayaan perempuan. Tentunya sudah sangat lengkap berbagai institusi dan kebijakan serta penganggaran perlindungan anak di Indonesia, namun pertanyaaannya adalah mengapa masih saja persoalan anak belum bisa dituntaskan secara sistemik? Masalah anak masih terbelenggu dalam insittusi insitusi tersebut dan tidak dijalankan secara adil dan penuh tanggung jawab. “Anak” dianggap sebagai warga negara kelas dua, karena tidak bisa memberikan suara dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, sehingga perhatian yang diberikan juga tidak maksimal. Derita anak tak habis-habisnya kita dengar di media massa, bahkan dalam kehidupan nyata di sekitar kita. Lalu apa tugas dan tanggung jawab yang sudah dilakukan negara selama ini, jika kebijakan sudah dilakukan ? Apakah ada yang salah dalam implementasinya? Atau masih kaburnya pemahaman masalah perlindungan anak dikalangan birokrasi Indonesia?

Masalah Perlindungan Anak di Indonesia

Banyak faktor yang menyebabkan masalah perlindungan anak belum sungguh sungguh dilaksanakan di Indonesia. Perlu dipertimbangkan beberapa catatan yang dikemukakan oleh komite hak anak PBB terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia. Ada catatan yang disampaikan oleh komite hak anak PBB tentang masalah penegakan perlindungan anak di Indonesia, sehingga sampai saat ini “rapor” kita masih buruk di mata Komite Hak Anak PBB terutama menyangkut masalah diskriminasi pada anak berdasarkan jenis kelamin khususnya dalam bentuk perkawinan. Indonesia masih membedakan batas usia perkawinan, untuk laki-laki 19 tahun sedangkan untuk perempuan 16 tahun. Ini menunjukan bahwa negara masih memberikan diskriminasi bagi anak perempuan, diskriminasi juga masih terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan anak-anak yang menjadi kelompok minoritas.

Terkait dengan penerapan UU No. 3/1997 tentang Peradilan Anak, maka patut menjadi perhatian kita semua bahwa besarnya jumlah anak-anak yang dihukum penjara di Indonesia. Menurut catatan UNICEF (2009) jumlahnnya telah mencapai lebih dari 4000 orang anak per tahun. Padahal sebagian besar dari mereka adalah melakukan kejahatan ringan. Anak-anak juga sering ditahan bersama orang dewasa dalam kondisi yang mengenaskan, disamping itu batas usia tanggung jawab kriminal yaitu usia 8 tahun adalah terlalu rendah.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang batasan usia minimum untuk bekerja dan Konvensi ILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak. Indonesia juga telah memiliki rencana aksi nasional penghapusan bentuk bentuk terburuk pekerjaan untuk anak. Namun kenyataannya tingginya jumlah anak-anak yang bekerja yang sebagian besar di bawah usia 15 tahun baik di sektor formal maupun informal.

Di bagian eksploitasi seksual anak, pemerintah mengakui tidak adanya data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar 60 persen korbannya adalah anak-anak. Mayoritas korbannya adalah perempuan disamping anak laki-laki. Mengenai eksploitasi seksual komersial anak dilaporkan bahwa semua bentuk eksploitasi komersial anak dijumpai di Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pornographi anak. Diperkirakan sekitar 30 persen dari pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anak-anak.

Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi optional protocol Kovensi Hak Anak (protocol tambahan PBB) tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornogrpahi anak sehingga undang-undang yang ada masih dinilai kurang efektif akibatnya anak-anak korban eksploitasi seksual sering tidak mendapatkan perlidungan atau bantuan pemuliahan yang efektif.

Rekomendasi

Dari berbagai permasalahan anak di Indonesia yang disebutkan di atas, maka berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi yang merupakan upaya meminimalisir persoalan anak di Indonesia.

1. Mengembangkan mekanisme dan sistem perlindungan anak yang terpadu sehingga alur perlindungan anak menjadi lebih teratur sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih perlindungan anak. Mekanisme terpadu ini bisa merujuk pada sistem yang dikembangkan di beberapa negara ASEAN, dan yang saat ini yang terbaik adalah seperti yang dikembangkan di Malaysia.
2. Untuk mengurangi tingkat diskriminasi pada anak maka perlu untuk menaikkan batas usia menikah pada anak perempuan sehingga posisinya setara dengan laki-laki. Mengambil langkah segera yang diperlukan untuk mencegah dan mereduksi semua bentuk pernikahan dini. Mengupayakan agar anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dan suku minoritas mendapatkan perhatian yang lebih tinggi untuk mensejahterakan mereka.
3. Menaikkan batas usia minimal tanggung jawb kriminal anak sampai level yang bisa diterima secara internasional. Menjamin agar anak-anak yang ditahan selalu dipisahkan dari orang dewasa, dan agar perampasan kebebasan hanya digunakan sebagai langkah terakhir, untuk periode sesingkat mungkin dan dalam kondisi selayaknya.
4. Melanjutkan usaha menghapus pekerja anak (anak-anak yang bekerja) khususnya dengan menangani akan penyebab eksploitasi ekonomi anak lewat penghapusan kemiskinan dan akses pendidikan serta mengembangkan sistem monitoring pekerja anak yang komprehensif misalnya dengan bekerjasama dengan LSM, penegak hukum, pengawas buruh dan lembaga lembaga internsional.
5. Menjamin agar Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak diberi alokasi sumberdaya yang memadai dalam implementasinya serta dapat dilaksanakan secara efektif di tingkat Provinsi dan Kabupaten.
6. Meratifikasi dua oprional protocol Konvensi Hak Anak (KHA) yang hingga saat ini belum diratifikasi pemerintah Indonesia yaitu opsional protocol KHA tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornographi anak, serta optional protocol KHA tentang anak di dalam konflik bersenjata. Belum diratifikasinya kedua optional protocol ini mengakibatkan Indonesia selalu mendapatkan catatan buruk karena belum sungguh sungguh memiliki komitmen dalam upaya perlindungan anak yang menyeluruh.

Daftar Rujukan

1. Majalah Kalingga, edisi November–Desember 2004, diterbitkan oleh PKPA-UNICEF
2. Irwanto, “Anakku Sayang Anakku Malang”, Harian Kompas, 1 Februari 2010
3. Ahmad Sofian, “Kekerasan Mengintai Anak-Anak Kita” Harian Kompas, 23 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar